Senin, 20 April 2009

Deversifikasi Pangan, Peran Bulog, dan Revitalisasi Kaum Tani*


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

(Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Pendahuluan
Problem krisis pangan yang menimpa negara-negara berkembang merupakan bagian dari bencana kemanusiaan, yang pada gilirannya menjadi pemicu tingkat kesengsaraan dan kelaparan. Sebagai bencana kemanusiaan, krisis pangan terus menerus menghantui masyarakat di dunia. Bahkan, kemunculannya semakin membuat orang tak berdaya menghadapi sindrom kelaparan, sehingga tidak jarang kematian akibat menipisnya kebutuhan makanan pokok menjadi momok yang menakutkan.
Bencana kemanusiaan yang dihadapi kaum petani, tidak bisa lepas dari proses penyingkiran secara sistematik petani kecil sebagai produsen pangan. Proses peminggiran ini, merupakan akibat kekalahan petani kecil dan konsumen dalam perebutan kebijakan pangan yang memihak pada Perusahaan Transnasional (TNC) bidang Agribisnis.
Menurut Isabelle Delforge (2003), dalam "Dusta Industri Pangan", kekalahan petani kecil tersebut terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Sesungguhnya, bencana tersebut telah terjadi sejak peradaban manusia menerima keyakinan dan mitos bahwa "efficiency" sebagai satu-satunya prinsip dasar yang niscaya dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan hutan.
Apa yang dipaparkan Delforge di atas, secara tidak langsung telah menegaskan bahwa kaum tani selalu terpinggirkan akibat kebijakan-kebijakan yang menyudutkan, sehingga kaum tani semakin termarginalkan. Apalagi, ditambah dengan semakin gencarnya gerakan globalisasi dan liberalisasi perdagangan pangan yang dilandasakan pada kebijakan neoliberalisme. Maka, kesengsaraan petani pun akan terus menerus menjadi dilema bagi pembangunan nasional ke depan.


Kelaparan Akut: Sindrom Ketahanan Pangan
Dari cacatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan akut pada tahun ini berkisar pada angka 40 juta orang. Dengan demikian, total penduduk dunia yang kelaparan menjadi 963 juta orang dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia saat ini. Sungguh angka yang sangat tinggi, namun inilah fakta yang harus kita terima akibat bencana kemanusiaan ini (krisis pangan). (Kompas, 10 Desember 2008).
Itulah sebabnya, Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, meluncurkan suatu laporan tahunan soal kerawanan pangan dunia yang menyebutkan bahwa krisis pangan banyak dialami keluarga miskin, mereka yang tak punya lahan, dan perempuan Ibu rumah tangga. Dalam laporan "State of Foods Insecurity in World 2008", Diouf menyerukan negara-negara kaya agar menginvestasikan 30 miliar dollar AS per tahun dalam pertanian.
Meskipun produksi pangan dunia meningkat, melebihi pertumbuhan penduduk, namun kelaparan tetap saja terjadi. Ini terjadi bukan karena kelangkaan pangan, melainkan akibat kebijakan neoliberal bidang pangan di tingkat Internasional yang mengingkari kedaulatan dan hak dasar petani. Dulu, kita percaya bahwa pangan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Gizi pangan yang memadai merupakan hak dasar dan esensial bagi kehidupan, seperti dapat dilihat dalam Deklarasi HAM PBB "The UN Declaration of Human Right dan The UN Covenant on Economic, Social and Cultural Rights".
Menyikapi persoalan demikian, maka peran Bulog harus benar-benar dioptimalkan, agar ketahanan pangan kita bisa dikendalikan. Sebagai lembaga pangan, Bulog menjadi bekal bagi kemandirian pangan kita yang terkesan dikendalikan oleh pihak asing, sehingga eksistensi Bulog yang berubah menjadi lembaga Perum, khususnya BUMN, harus segera melakukan langkah-langkah inovatif untuk mengendalikan krisis pangan dan kelaparan akut.


Perubahan Dinamika Bulog dan Kesejahteraan Kaum Tani
Sebagai lembaga pangan, dinamika perubahan Bulog begitu sangat fundamental bagi eksistensi ketahanan pangan kita. Betapa tidak, sejak berganti nama menjadi BUMN, Bulog diharapkan mampu menopang keberlanjutan swasembada pangan, khususnya beras dalam mendorong kesejahteraan kaum petani. Itulah sebabnya, Bulog menjadi salah satu modal ekonomi yang paling menjanjikan untuk tetap mempertahankan stabilitas harga beras dan produksi lainnya.
Dalam konteks ini, setidak-tidaknya ada empat tugas publik yang tetap akan diemban oleh Bulog. Pertama, jaminan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP). Kedua, stabilisasi harga di pasar. Ketiga, konsistensi raskin bagi kaum pinggiran. Raskin adalah program perlindungan sosial (social protection program) yang ditujukan buat rumah tangga miskin (targeted food subsidy), umumnya mereka yang beresiko tinggi terhadap food insecurity. Keempat, sebagai cadangan atau stok pangan nasional.
Kendati demikian, perkembangan Bulog mengalami banyak perubahan. Awalnya, lembaga ini yang dibentuk pada 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet, dengan tugas pokok untuk menyediakan pangan untuk memperkuat Pemerintah Orde Baru. Kemudian dirubah pada 1978, untuk mendukung pembangunan pangan multi-komoditas. Pada 1993, waktu Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan, tanggung jawab Bulog diperluas, yaitu sebagai koordinator pembangunan pangan dan peningkatan mutu gizi. Ketika Bulog mengalami perubahan, maka kita perlu mengkritisinya dengan mencari faktor pendorong perubahan tersebut.
Pertama, perubahan kebijakan pangan Pemerintah dan perubahan mandat Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor atau hak-hak khusus impor sebagai STE (state trading enterprise). Hal ini menjadi penting, mengingat dinamika perubahan yang terjadi dalam lembaga Bulog sangat menentukan terhadap ketahanan pangan nasional.
Kedua, berlakunya berbagai UU baru, khususnya UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, dan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. Sejumlah ahli berpendapat bahwa stok pangan nasional harus dilaksanakan secara terpusat, dan pangan harus dipakai sebagai sarana perekat nasional. Menurut hemat saya, sentralisasi pangan yang demikian, dapat memberikan jaminan ideal bagi masyarakat, karena ditangani oleh Badan Hukum Milik Negara (BUMN).
Ketiga, perubahan ekonomi global khususnya adanya WTO, serta pengaruh lembaga Internasional khususnya IMF sebagai prasyarat tentang Bulog dalam LOI (letter of inted) yang dibuat sejak 1997 sampai dengan 2000. WTO mengharuskan penghapusan berbagai hambatan perdagangan. Semua bentuk NTB (Non-Tariff Barrier) seperti monopoli, larangan perdagangan, dirubah menjadi TB (Tariff Barrier), serta perlunya membuka pasar dalam negeri. (Joan Hajono, 1993).
Perubahan kelembagaan Bulog, bagi saya, menjadi momentum awal bagi kaum tani untuk tetap mempertahankan produktifitas beras. Itulah sebabnya, saya berkeyakinan bahwa ide tentang perubahan Bulog ini dapat membantu kesejahteraan kaum tani yang terlunta-linta akibat harga beras yang tidak stabil. Maka, sebagai lembaga pangan, Bulog mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk terus memantau perkembangan harga beras dunia, agar pemberdayaan terhadap kaum tani dapat direalisasikan.


Deversifikasi Pangan: Harapan Bulog Masa Depan
Dari sekian komoditas yang menjadi fokus ketahanan pangan, peningkatan produksi beras merupakan prioritas utama yang perlu dikembangkan. Maka, rencana pemerintah untuk mengembangkan deversifikasi pangan sangat relevan bila dioptimalkan. Deversifikasi pangan di sini, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Menurut Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurti, konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang mengkonsumsi beras. Maka tidak berlebihan, kalau deversifikasi pangan dalam konteks peningkatan produksi beras menjadi sebuah keniscayaan. (Kompas, 23/ 12/ 08).
Konsep ketahanan pangan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan. Menurut Albert Howard (1999), kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses, mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing.
Berdasarkan konsep kedaulatan pangan di atas, maka untuk dapat mencapai kedaulatan pangan salah satu cara yang dipakai adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, yaitu diversifikasi pangan. Dengan adanya diversifikasi pangan, maka kita tidak akan lagi tergantung pada beras.
Oleh sebab itulah, perlu diadakan kajian yang mendalam tentang feasibilitas dalam mewujudkan diversifikasi pangan, yaitu mencakup telaah tentang orientasi kebijakan pangan pemerintah beserta political will pemerintah, budaya masyarakat terhadap beras (mentality rice), kandungan gizi dari bahan pangan lain pengganti beras, serta berbagai hambatan dalam penerapan diversifikasi.
Penutup
Pada titik inilah, deversifikasi pangan menjadi harapan bagi masa depan Bulog, agar tetap eksis dalam menjaga perkembangan harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bagian dari masyarakat, saya mempunyai harapan bahwa Bulog nantinya bisa menjadi sentum ekonomi bangsa, khususnya masalah ketahanan pangan yang sangat vital bagi eksistensi kaum tani di masa depan.
Berangkat dari fungsi dan peranan Perum Bulog yang strategis dan signifikan di masa mendatang, maka BUMN selaku pemegang saham merasa perlu untuk melakukan leadership reform di jajaran dewan pengawas dan direksi Perum Bulog. (Antara, 21/ 03 /07). Kebijakan tersebut ditempuh sebagai langkah antisipatif agar kinerja Perum Bulog tidak terganggu dan dapat terus menjalankan fungsinya mengamankan stok beras nasional sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional secara keseluruhan.

*Tulisan ini meraih juara I Lomba esai tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh PERUM BULOG NASIONAL

1 komentar:

Mohammad Takdir Ilahi mengatakan...

selamat bung, dapat juara lomba, moga semakin rajin nulis. holis